“Mau beli nasi goreng
di mana Riri (nama samaran)?” tanya saya pada seorang teman.
“Di situ ukhti,” dia
menyebutkan nama tempat nasi goreng yang cukup terkenal di daerah kosan kami.
Seketika itu saya
terkejut. Bukankah? Bukankah?
“Di sana bukannya pake
angchiu, ya?”
“Itu apaan?” Dahinya
mengerut. Raut wajahnya dilanda penasaran..
“Pernah merhatiin ga?
Kalo ada botol hitam-merah, yang ada tulisan cina-cinanya? Itu arak Cina. Minuman keras.”
“Astagfirullah! Iya
memang ada. Kirain itu minyak wijen. Huhu..”
---
Hidup di Indonesia yang mayoritas muslim mungkin membuat kita merasa aman-aman aja menikmati berbagai jenis makanan yang ada di negri ini. Tidak ada rasa khawatir mencoba ketika membeli makanan yang bertebaran di penjuru negeri. “In syaa Allah halal,” katanya, tapi enggan mencari tahu dan menanyakan tentang kehalalan produk yang ia makan.
Hidup di Indonesia yang mayoritas muslim mungkin membuat kita merasa aman-aman aja menikmati berbagai jenis makanan yang ada di negri ini. Tidak ada rasa khawatir mencoba ketika membeli makanan yang bertebaran di penjuru negeri. “In syaa Allah halal,” katanya, tapi enggan mencari tahu dan menanyakan tentang kehalalan produk yang ia makan.
Contohnya kisah di atas. Tidak banyak orang Indonesia yang tau angciu itu haram dan tidak tahu angciu itu arak yang jelas-jelas haram untuk dikonnsumsi. Angciu menjadi primadona bagi abang-abang nasi goreng, karena katanya, hasilkan rasa yang enak, bikin nagih (saya pernah makan waktu belum tahu, memang rasanya enak dan beda).
Apakah abang-abang tersebut sengaja mencampurkan yang haram?? Saya rasa tidak. Dasar dari hal ini mungkin saja ketidaktahuan juga kurangnya pemahaman. Dikiranya angciu sejenis bumbu-bumbu dapur, yang menguatkan rasa, menambah aroma, membuat orang ketagihan.. Namun ternyata, itu adalah arak merah dalam bahasa Cina. Kadar alkoholnya mencapai 15%. Jauh di atas standar MUI yakni 1% sebagai kategori minuman/makanan beralkohol.
Tentu ini menjadi ironi. Kebanyakan dari pedagang-pedagang tersebut adalah seorang muslim. Walaupun, muslim belum tentu menjadi jaminan. Setidaknya, seorang muslim pasti lebih tahu dan peduli perkara makanan halal jika dibandingankan dengan selain muslim. Bayangkan sejenak, betapa banyak muslim yang tubuhnya sudah ‘terkontaminasi’ makanan haram? Allaah mungkin memaafkan ketidaktahuan kita. Tapi tetap saja, yang haram menjadi bagian dari bagian dari sel-sel tubuh kita, mengalir bersama darah kita.
Begitupun juga pada alkohol yang ditambahkan pada masakan-masakan lainnya. Mungkin kita pernah menyaksikan, betapa keren atraksi-atraksi chef yang melakukan flambe. Yaitu penambahan alkohol pada masakan sehingga dalam sekejap, nyala api seakan menari-nari di atas wajan. Keren memang. Mungkin kita tepukau, lalu bertepuk tangan, dan kemudian tanpa ragu mencicipinya. “Gpp, alkoholnya udah menguap, jadi makanan ini halal, ” kata chefnya.
Benarkah? Alkohol memang memiliki titik didih yang lebih rendah daripada air. Etanol (jenis alkohol yang digunakan dalam makanan), memiliki titik didih 780C, lebih rendah dibandingkan air yang memiliki titik fidih 1000C. Secara logika, dengan pemanasan intensif pada suhu minimal 780C, alkohol akan menguap tanpa sisa. Akan tetapi, etanol dan air ketika dicampurkan akan membentuk campuran azeotrop. Azeotrop merupakan campuran dua atau lebih komponen yang memiliki titik didih konstan, sehingga mustahil terjadi pemisahan secara sempurna. Akan ada alkohol yang tertinggal bersama air dalam makanan. (notes, di nasi goreng itu ada air loh, tidak ada makanan yang tidak mengandung sedikitpun air walaupun itu biji-bijian kering, hehe)
Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), alkohol yang tersisa berdasarkan cara dan memasak berbeda-beda, yaitu:
-
Alkohol ditambahkan ke cairan mendidih dan diangkat dari api: 85%
-
Alkohol disulut api: 75%
-
Tanpa panas, disimpan semalaman: 70%
-
Dipanggang 25 menit, alkohol tidak diaduk di adonan: 45%
Lalu,
mari sejanak berpindah dari deretan pedadang kaki lima menuju etalase-etalase
keceh di mall-mall dan supermarket. Makanan dan minuman yang menggiurkan
dikemas cantik dan menarik boleh jadi tidak halal. Sekalipun itu adalah
sepotong roti atau bahkan sekantung tepung terigu.
It’s just a bread. There’s no meat inside. It couldn’t be contain haram things such as pork, right?
Jawabannya bisa saja. Meskipun tidak ada secuil daging pun disitu. Contohnya saja dari lemaknya. Bisa saja lemak yang digunakan adalah lemak yang berasal dari hewan haram. Kita sebut dia, babi, nama lemaknya lard. Penggunaan lard sebagai bahan dalam memproduksi makanan tergolong luas. Belum lagi bahan-bahan yang lainnya.
Perkembangan teknologi pangan yang semakin pesat menjadikan pembuatan produk pangan olahan tidak sesederhana dulu lagi. Jika dulu membuat roti hanya membutuhkan tepung terigu, air, garam, ragi, maka kini kita mengenal Bahan Tambahan Pangan (BTP). BTP ini amat bervariasi. Jenisnya, sumbernya, penggunaannya, fungsinya, yang semuanya ditujukan untuk menigkatkan kualitas produk.
Dari emulsifiernya misalnya, bisa saja berasal dari bahan-bahan haram. Emulisifier (pengemulsi) itu secara sederhananya adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk membantu penggabungan fasa lemak yang non polar dan fasa air yang polar. Keduanya tidak bisa bergabung, namun, dengan adanya emulsifier mereka akan bergabung membentuk struktur yang kompak, misalnya adonan. Protein tepung terigu dan telur sebenarnya meruapakan emulsifier yang alami. Namun dibutuhkan juga bahan tambahan untuk meningkatkan kualitas produk. Nah, digunakanlah emulsifier. Emulsifier merupakan produk turunan lemak, dan lagi-lagi, lemak inilah yang menjadi titik kritisnya. Jika ia berasal dari hewan yang haram, sudah jelaslah hukumnya.
Bahkan, tepung terigunya bisa saja tidak halal. Loh, kok iso?? Gandum digiling doang bisa ga halal? Begini, kadar protein merupakan salah satu parameter penting dalam tepung terigu. Tepung dengan kadar protein yang tinggi digunakan untuk pembuatan roti dan mie. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar protein dalam tepung terigu adalah dengan menambahkan bahan tambahan, seperti L-sistein. L-sistein merupakan produk turunan yang dapat diperoleh dari bulu unggas namun, dapat juga berasal dari rambut manusia. Padahal, haram hukumnya bagi kita mengkonsumsi makanan yang berasal dari bagian tubuh manusia.
Hah? Gitu ya? Gimana dong kita? Masa kita harus panen sendiri, giling sendiri, ngolah sendiri, masak sendiri, gitu?
Tenang, jangan lebay, hehe. Ada sedikit tips bagi kita unutuk menghindari makanan-minuman yang tidak halal di sekitar kita.
Pertama, ketika akan mengkonsumsi produk pangan olahan ayng diproduksi oleh industri, yang biasanya tersedia di warung, toko-toko, minimarket, ataupun supermarket, pastikan yang kita beli memiliki label halal dalam kemasannya. Itu adalah jaminan dari produsen bahwa produk yang kita konsumsi halal. Hindari produk yang belum memiliki label halal. Walau itu hanya sekedar makan roti, makan permen, makan snack. Berhati-hatilah!. Karena, ada begitu banyak peluang ketidakhalalan pada produk-produk industri. Kita tidak tahu, bahan tambahan pangan apa saja yang ditambahkan di sana.
Tentu kita tahu, salah satu franchise roti ternama yang outletnya tersebar di kota-kota besar di Indonesia (ga usah sebut merk, you know what I mean :) ). Ketiadaan label halal seharusnya menjadi alarm keras bagi seorang muslim dalam memilih makanannya. Sekali lagi, walaupun itu hanya sebuah roti, tetap saja ada begitu banyak bahan yang bisa saja ditambahkan unukt menigkatkan kualitas produk, yang belum jelas kehalalannya. Roti kekinian bukan hanya terdiri dari tepung terigu, air, ragi, garam, dan gula bro! Yang enak lagi jelas kehalalannya itu banyak kok.
Kedua,
ketika mengonsumsi jajanan kaki lima atau warung-warung di sekitar kosan.
Mustahil bagi kita memaksakan kepemilikian sertifikat halal pada hualan mereka,
bukan? Jadi, pastikan bahwa pedagang yang kita beli jualannya adalah seorang
muslim. Karena bagaimanapun juga, seorang muslim cenderung lebih tahu dan
memahami perihal kehalalan makanan. Kemudian, perhatikan dengan baik ketika
mereka memasak jualannya di depan kita. Adakah yang hal aneh yang ditambahkan?
Angciu misalnya. Dan yang terakhir, pergunakanlah hak kita sebagai konsumen
unutk bertanya. Pergunakanlah kata-kata yang baik agar abangnya tidak marah,
hehe. “Bang, kalo boleh tau itu tadi yang ditambahin apa ya?” Tapi, kalau raut
wajah abangnya sudah mengerut, lalu menggelembung marah, jangan diam! Ambil
ancang-ancang, dan lari! Hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar