Ujian bertubi-tubi di jalan dakwah.
Mereka yang berpaling, meninggalkan. Dakwah yang terseok-seok. Berjalan pincang
ibarat kehilangan sebelah kaki. Tidak cukup itu, luka yang menganga dari tubuh
sendiri terasa payah diobati. Sudah keiring mereka gores lagi. Sudah sembuh
dilukai lagi.
“Kemana gerangan ketika dakwah
memanggilmu? Duhai, mengapa setetes kenikmatan dunia membuatmu terlena
melupakan selaut rasa Surga?”
Tekanan dari luar semakin memayahkan. Rasanya
seperti dipaksa menyelam di kedalaman laut. Semakin menjuju dasar, semakin kuat
tekanan. Amanah-amanah yang mereka tinggalkan, terpaksa ditanggung oleh orang
yang itu-itu saja. Lelah, iya? Akademik yang sedikit demi sedikit terabaikan.
Betapa sedih kudapati diri dalam
kesendirian. Merindukan setetes rasa surga di kampung halaman. Rindu, teramat
rindu, pada ketenangan dan kasih sayang malaikat Allah yang terlihat, Mama.
Rindu, teramat rindu, pada nyamannya jaminan dan perlindungan yang ia berikan,
Bapak. Rindu, teramat rindu, sosok-sosok yang pada mereka aku terikat jalinan
darah, saudara-saudaraku. Tawa di rumah yang hangat, meski hidup dalam
kesederhanaan.
Duhai, harus bagaimanakah diri, Yaa
Allaah.
Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Hanya
firmanMu yang dapat menenangkan. Saat ujian hidup semakin memayahkan. Hanya
cintaMu yang meredakan tangis. Saat harap kepada manusia hanya menyisakan
kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar