Jumat, 20 Februari 2015

Tentang Cinta, Mengenang Kepergian Alm. Kakek


Dulu saya pikir, cinta adalah tentang sebuket bunga rupa-rupa warnanya, yang diberikan ‘malu-malu’ saat mengutarakan perasaan. “Maukah jadi pacarku?”. Dulu saya kira, cinta adalah bait kata-kata romantis, yang dikirimkan hampir setiap hari. Teruntuk seseorang yang ‘katanya’ mengisi ruang hati. Bahkan pernah saya mendefinisikan, jikalau cinta adalah tentang adegan-adegan ‘romantis’. Yang setiap hari disajikan dalam kotak berwana dan bersuara. Lewat sinetron ganjen Indonesia ataupun drama-drama Korea yang dulu hampir setiap hari saya lahap. Kenyang.

Ketika pulang ke kampung halaman dan bertemu nenek dan kakek, sempat saya menyangsikan cinta antara mereka. Sungguhkah mereka saling mencintai? Ataukah pernikahan mereka adalah buah dari perjodohan? Nikah paksa? Karena saya tak menyaksikan, sekelumit adegan “romantis’ tv di rumah ini.

“Bagaimana mereka menikah tante?” tanya saya seolah ingin menuntaskan penasaran.
“Anak kecil tak usah tau..” Ya, saya memang masih sebelas tahun ketika menanyakan itu.

Tahun demi tahun berlalu. Saya tumbuh menjadi lebih besar, kakek dan nenekpun semakin menua. Pulang kampung di tahun-tahun berikutnya ketika saya sudah cukup paham, akhirnya menjawab pertanyaan saya tentang cinta. Ketika kakek dan nenek secara tidak langsung mengajarkan seperti apa cinta itu.

---

Ya, kakek sakit. Sudah sejak lama. Usia lima tahun, saya pernah menyaksikan beliau muntah darah di rumah lama (sekarang sudah pindah ke rumah baru). Setiap tahun saat pulang kampung, saya menyaksikan penurunan kondisi fisik yang signifikan. Dari tongkat ke kursi roda, hingga bahkan tak bisa apa-apa lagi di tempat tidur. Tubuh yang makin mengurus kering...

Usia saya delapan belas. Kakek enam puluh sembilan. Kondisi fisik beliau amat lemah. Jangan tanya tentang berjalan, bangun dari tempat tidur pun tak bisa. Saya hampir tak mengerti semua kata yang terucap dari mulut beliau. Padahal dulu beliau adalah guru yang amat cerdas.

Dan, saat itulah nenek mengajarkan banyak hal tanpa menjelaskan. Malam-malam panjang saya menyaksikan nenek yang selalu tidur depan kamar kakek, beralaskan selimut saja. Agar sigap ketika mendengar keluhan Kakek saat malam begitu hening. Kesabaran mengurusi beliau dalam segala hal, bahkan dalam urusan (maaf) buang air dan kebutuhan sanitasi lainnya. Membuang jauh-jauh rasa jijik. Atas nama kesetiaan..

Lalu, yang membuat saya tersentak adalah ketika nenek menyuapi Kakek di tengah-tengah acara buka puasa bersama. Saat kakek sudah hampir tak bisa lagi melakukan apa-apa. “Lihat, cucu-cucumu bahkan sudah tumbuh besar”.. ucap Nenek saat itu. Saya memperhatikan dari jauh. Dengan mata gerimis.

Ohh, bagaimanakah itu bukan cinta? Jika kini sembilan anak tumbuh dewasa dengan baik. Sedangkan tiga lainnya sudah menunggu di surga (in syaa Allah).

Bagaimanakah itu bukan cinta? Puluhan tahun kesetiaan. Tak pernah beranjak. Menemani ketika mata rintik oleh kesedihan, atau saat dada membuncah karena kebahagiaan.

Bagaimanakah itu bukan cinta? Terus bersama di dunia hingga waktu memisahkan. Saat kakek berpulang kepada Allaah..


“Let’s slowly grow old together”. Ya, bagi saya, mereka sudah merealisasiskan kata-kata ini. :) 

(Mengenang Kakek yang berpulang, hampir genap dua tahun yang lalu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar