Dulu saya pikir, cinta adalah tentang sebuket bunga
rupa-rupa warnanya, yang diberikan ‘malu-malu’ saat mengutarakan perasaan.
“Maukah jadi pacarku?”. Dulu saya kira, cinta adalah bait kata-kata romantis,
yang dikirimkan hampir setiap hari. Teruntuk seseorang yang ‘katanya’ mengisi
ruang hati. Bahkan pernah saya mendefinisikan, jikalau cinta adalah tentang
adegan-adegan ‘romantis’. Yang setiap hari disajikan dalam kotak berwana dan
bersuara. Lewat sinetron ganjen Indonesia ataupun drama-drama Korea yang dulu
hampir setiap hari saya lahap. Kenyang.
Ketika pulang ke kampung halaman dan bertemu nenek dan
kakek, sempat saya menyangsikan cinta antara mereka. Sungguhkah mereka saling
mencintai? Ataukah pernikahan mereka adalah buah dari perjodohan? Nikah paksa?
Karena saya tak menyaksikan, sekelumit adegan “romantis’ tv di rumah ini.
“Bagaimana mereka menikah tante?” tanya saya seolah ingin
menuntaskan penasaran.
“Anak kecil tak usah tau..” Ya, saya memang masih sebelas
tahun ketika menanyakan itu.
Tahun demi tahun berlalu. Saya tumbuh menjadi lebih besar,
kakek dan nenekpun semakin menua. Pulang kampung di tahun-tahun berikutnya
ketika saya sudah cukup paham, akhirnya menjawab pertanyaan saya tentang cinta.
Ketika kakek dan nenek secara tidak langsung mengajarkan seperti apa cinta itu.
---
Ya, kakek sakit. Sudah sejak lama. Usia lima tahun, saya
pernah menyaksikan beliau muntah darah di rumah lama (sekarang sudah pindah ke
rumah baru). Setiap tahun saat pulang kampung, saya menyaksikan penurunan
kondisi fisik yang signifikan. Dari tongkat ke kursi roda, hingga bahkan tak
bisa apa-apa lagi di tempat tidur. Tubuh yang makin mengurus kering...
Usia saya delapan belas. Kakek enam puluh sembilan. Kondisi
fisik beliau amat lemah. Jangan tanya tentang berjalan, bangun dari tempat tidur
pun tak bisa. Saya hampir tak mengerti semua kata yang terucap dari mulut
beliau. Padahal dulu beliau adalah guru yang amat cerdas.
Dan, saat itulah nenek mengajarkan banyak hal tanpa
menjelaskan. Malam-malam panjang saya menyaksikan nenek yang selalu tidur depan
kamar kakek, beralaskan selimut saja. Agar sigap ketika mendengar keluhan Kakek
saat malam begitu hening. Kesabaran mengurusi beliau dalam segala hal, bahkan
dalam urusan (maaf) buang air dan kebutuhan sanitasi lainnya. Membuang
jauh-jauh rasa jijik. Atas nama kesetiaan..
Lalu, yang membuat saya tersentak adalah ketika nenek
menyuapi Kakek di tengah-tengah acara buka puasa bersama. Saat kakek sudah
hampir tak bisa lagi melakukan apa-apa. “Lihat, cucu-cucumu bahkan sudah tumbuh
besar”.. ucap Nenek saat itu. Saya memperhatikan dari jauh. Dengan mata gerimis.
Ohh, bagaimanakah itu bukan cinta? Jika kini sembilan anak
tumbuh dewasa dengan baik. Sedangkan tiga lainnya sudah menunggu di surga (in
syaa Allah).
Bagaimanakah itu bukan cinta? Puluhan tahun kesetiaan. Tak
pernah beranjak. Menemani ketika mata rintik oleh kesedihan, atau saat dada
membuncah karena kebahagiaan.
Bagaimanakah itu bukan cinta? Terus bersama di dunia hingga
waktu memisahkan. Saat kakek berpulang kepada Allaah..
“Let’s slowly grow old together”. Ya, bagi saya, mereka sudah
merealisasiskan kata-kata ini. :)
(Mengenang Kakek yang berpulang, hampir genap dua tahun yang lalu)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar