Minggu, 11 Mei 2014

My Hijab Story



Kuakui, perkenalan pertama kami memang tak romantis seperti pertemuan Romeo dan Juliet..
Pandanganku nanar. Seragam lengan panjang dan rok biru panjang itu membuat kepalaku serasa berputar-putar. Hatiku memberontak. “Pokoknya kamu harus pakai kudung”, ultimatum Mama yang membuat mulutku terkuci. Mana kusangka, penolakanku mentah-mentah untuk bersekolah di madarasah tsanawiyah berujung seperti ini. Meski berhasil masuk di SMP, seragamku adalah seragam tsanawiyah. Tidak!  Aku masih terlalu kecil untuk semua ini.. hiks
Berangkat dari rasa tidak suka dan terpaksa, aku mulai memakai pakaian serba panjang itu, di sekolah. Hanya di sekolah, sisanya saat bepergian ke mana-mana, rambutku ku kepang kuda, kupakaikan bandana, ataupun kuberi jepitan beragam warna. Wohooo..
Dan semua itu berlangsung hampir satu tahun..
Perlahan-lahan rasa malu terbit di batinku. Saat berpergian jauh dari rumah, namun tanpa kerudung yang menutupi kepalaku, rasanya, aku seperti tidak berpakaian saja. Malu hinggap di kepalaku. Hingga akhirnya, aku menciptakan sebuah rumus lucu-lucu untuk berhijab, jika jarak tempuh kurang dari 500m, boleh tak berkerudung. Jika jarak tempuh lebih dari 500 meter, harus pakai kerudung. Namun, lucunya, ketika ujian praktik berenang di kolam renang, aku dengan mudahnya menanggalkan kerudungku dan dengan bangga berkata “jilbab metal men!”
Genap tiga tahun bersama kerudungku, seragamku pun berganti. Aku masuk di salah satu SMA favorit di kotaku. Kuakui, tiga tahun bersama, aku tidak begitu mengerti dengan hakikat hijab sebenarnya. Aku hanya mengerti kerudung adalah pakaian yang digunakan wanita-wanita muslim. Barulah ketika pelajaran agama Islam, guruku menjelaskan dalil tentang hijab bagi wanita. Aku terkejut, ternyata ada di Al-Qur’an!
Aku ingat hari itu, bu guru kami yang berkerudung lebar itu mengintrogasi kami satu-satu. Yang sudah berkerudung maupun tidak. Aku kebagian menjelaskan kandungan surah An-Nuur ayat 31. Syarat kerudung harus menutupi dada, aku baru tahu saat itu juga. Untunglah saat itu hari Sabtu dan kerudung coklat yang kugunakan kebetulan juga menutupi dada. Berbeda dengan kerudung abu-abu yang amat ngepass itu. Aku juga baru tahu, kudung dan jilbab itu tidak sama. Jilbab itu pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan membungkus, dan itu ada di Al-Ahzab:59. Nah, beginilah kalau baca Qur’an tanpa baca terjemahannya.
Sayangnya, meskipun segala ayat telah mampir di kepalaku, kerudung mini-mini serta jeans ketat masih setia menemaniku. Aku malah pernah memberi cap “aliran keras” pada seorang akhwat yang sudah memakai gamis panjang dan kerudung lebar di hari pertamanya berhijab. Astagfirullah..
Sebuah hidayah dari lapangan tenis.
Sore itu, matahari bersinar hangat, Tak ada terik yang membakar peluh. Angin sore menyapa, menjatuhkan daun-daun yang bergantung di rantingnya. Dari balik jendela, aku termangu menatap lapangan tenis sekolah. Pandangan mataku menangkap sekumpulan perempuan-perempuan anggun yang tidak hanya berkerudung, namun juga memakai rok. Dari jauh pun, aku menemukan ketenangan, juga kehangatan. Entah mengapa. Batinku tergelitik “aku ingin seperti mereka”.
Aku pun mulai mencicil tiket masuk surga, menghentikan segenap pembelian celana jeans dan mulai mengajukan proposal pembelian rok kepada Mama. Secara bergantian, aku menjadwalkan pemakaian rok dan jeans. Dan, akupun mencanangkan rumus baru. “Jika hari ini berbaju pendek, Risqah wajib pakai rok. Jika hari ini memakai baju yang panjang, minimal jatuh menutupi paha, maka boleh pakai jeans.” Meski begitu, rumus pertama kadang-kadang masih aku jalankan, walahpun jaraknya dipersempit, kurang dari 100 meter dari rumah.
Perlahan tapi pasti, hijrah rok akhirnya bisa istiqomah. Jeans-jeans 99% sudah dikepak rapi dalam lemari tanpa dilirik lagi. Walau begitu rok tidak mengubah lebih banyak pribadiku. Meski sudah ber-rok, sudah mulai berkerudung menutup dada, namun rupanya kesadaranku untuk belajar agama lebih baik masih muncul menghilang.
Meski menapak karir sebagai pengurus rohis sejak tahun pertama, aku termasuk anak yang “bandel” ketika kajian. Hobinya lari mulu, lebih mementingkan permainan kartu di dalam kelas, lebih mementingkan film yang ditonton seru di dalam kelas. Pernah membuat seorang mbak menunggu lama di mushola tanpa ada seorangpun yang datang. Padahal, hari itu harusnya menjadi mentoring pertamaku..
Suatu hari di kelas tiga SMA, guru bahasa Indonesia kami menugaskan proyek drama. Batinku berteriak kesenangan menyambut tugas ini. Aku senang tampil di depan umum, aku senang menulis naskah. Apalagi, drama kami sewaktu kelas dua dulu mendapat pujian tak terduga dari guru kami. “Kalau bisa, kalian tampil di perpisahan kelas tiga”. Dan dengan bersemangat, aku menulis drama pembunuhan yang aku impikan, terinspirasi dari detektif Conan. Drama pembunuhan pun berakhir dengan gagal dan berubah menjadi sebuah drama lawak yang amat menggocok perut. Adegan bunuh diri dengan cutter gagal total karena kantong plastik yang berisi cairan merah sebagai subtitusi darah itu terlihat jelas oleh penonton.
Rasa kecewa hinggap di benakku, walau turut tergelitik dengan drama itu. Di lain hal, setelah drama, seorang temanku memberikan tanggapan yang membuat pipiku serasa tertampar sekeras-kerasnya. Bukan tentang dramaku yang gagal total, tapi tentang penampilanku hari itu. “Kau tau Riska, melihatmu memakai celana jeans membuat kami merasa aneh. Seperti bukan kamu!”
Yah, hari itu aku memutuskan memakai celana jeans agar lebih menghayati karakter yang kumainkan. Seorang gadis yang tomboi namun periang. Entah pemikiran dari mana itu semua. Terlebih lagi, yang berkomentar tentang jeansku adalah seorang laki-laki yang notabene bukan anak rohis, bukan anak alim yang aktif di masjid, hanya teman kelasku. Jika temanku yang satu ini merasa terganggu dengan jeans ini, bagaimana dengan Allah dan Rasul-Nya?
Hari itu, sungguh menjadi hari terakhirku memakai celana jeans..
Lewat cinta, hidayah menyapa..
Ada desir halus yang terbit di hatiku, tatkala melihat teduh wajahnya. Sungguh, aku hanya seorang gadis biasa. Sungguh wajar untuk merasa. Sebutlah dia Mr.X, orang yang diam-diam kukagumi dan hatiku, telah cukup lama menyimpan namanya. Dialah pelita yang terang, menyinari sudut-sudut hati yang kerap kali menahan rindu.
Sewajarnya orang-orang yang jatuh cinta, aku kerap kali mengharapkan banyak hal tentang dirinya. Walau prinsipku untuk tidak akan pernah berpacaran tak tergoyahkan, namun aku merasa tiada salahnya mengungkapkan perasaan pada seseorang yang kita sukai. Hanya agar dia tahu..
Suatu jari, aku pun berani mengutarakan perasaanku padanya. Oh man, itu keberanian yang kukumpulkan setelah sekian bulan. Tanggapannya? Ia hanya diam, lalu mangucapkan terima kasih. Dan, sebenarnya aku tahu, dia menyukai orang lain, seorang gadis lain yang kukenal pasti.
Patah hati.. Aku menghabiskan banyak malam berurai air mata. Segalanya begitu gelap saat itu. Bagiku, pelita terang itu telah pergi. Nyeri sekali hatiku seolah teriris sembilu, menyebabkan lahirnya luka menganga. Sambil terus berharap, Allah akan mengirimkan matahari yang akan mengusir gerimis yang membasahi beranda hatiku..
Siapa sangka, kisah patah hati ini menuntunku menuju lebih dekat dengan Tuhanku. Lewat sebuah buku yang kata-katanya hari ini masih tersimpan dalam kepalaku.. “Jika kita cinta pada manusia, akan ada dua kemungkinan. Yang pertama diterima atau ditolak. Jika diterima akan bahagia rasanya namun jika ditolak akan sakit rasanya. Apabila kita mencintai Allah, satu-satunya kemungkinan adalah cintamu pasti diterima-Nya. Betapa indahnya jika hidup ini diisi dengan bermesraan pada-Nya, menggantungkan hidup semata-mata pada-Nya.”
‘Jleb’ ibarat peluru sepenggal kalimat itu menghujam tepat di hatiku. Air mataku tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Mengalir begitu saja tanpa aku ingini. Sejenak kuputar dalam kepalaku apa yang telah kulakukan. Aku terisak-isak, menyadari telah melakukan hal yang begitu bodoh. Terlalu mengspesialkan perasaan pada seseorang yang tak halal, mengorbankan jiwa dan pikiran memikirkannya sepanjang hari, mengabiskan berliter-liter air mata untuknya. Di mana waktuku untuk Allah? Sudahkah Aku mencintai-Nya? Yaa Rabbi.. faghfirlii..
Sejak saat itu, aku memutuskan berbenah, sambil membersihkan remah-remah dosa yang terus mengotori selubung hati. Akupun akhirnya berupaya menyempurnakan hijabku, yang sesuai syariat. Dengan penuh penyesalan, mengapa baru saat itu menyadarinya. Setelah hampir genap enam tahun mengenakannya. Rok memang telah istiqamah aku kenakan, begitupun kerudung walau ngepass tapi menutup dada. Namun, aku terlupa akan jari-jari kakiku yang masih telanjang tanpa kaos kaki. Padahal, bukankah hadis “kecuali muka dan telapak tangan” telah sekian tahun aku ketahui?
Dan Allah pun, menggariskan kisah hidup baru untukku, dengan jalan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah Universitas swasta di ibukota. Dan disanalah, aku mendapatkan saudara-saudara baru membuat hidupku jauh lebih berwarna, di LDK yang aktif kuikuti. Sambil berupaya terus berbenah, aku rajin mengikuti kajian-kajian, sambil belajar berbicara di depan umum untuk dakwah, belajar menulis dan juga semakin menyempurnakan hijab, memanjangkan kerudung.
Ah, tiba-tiba aku terpikir, jikalau saat itu perasaanku pada si Mr.X terbalaskan, apalah jadinya diriku sekarang. Mungkin aku malah menjauhi LDK, mungkin tak pernah berpikir untuk menyempurnakan hijabku. Terus mengejar dunia yang tidak ada habisnya.
Ada banyak kisah bagaimana seorang muslimah menemukan hidayahnya. Dan aku merasa beruntung, Allah tidak mengujiku dengan cobaan berat hingga aku menemukan hijab sempurnaku. Tidak ada halangan berat seperti larangan keras dari orang tua untuk berhijab.. Lewat kisah cinta yang sekarang membuatku sekarang benar-benar tertawa geli, aku menemukan jalanku, aku menyambut hidayah yang begitu manis itu. “Pokoknya kamu harus pakai kudung!” Ah, sudah lebih dari tujuh tahun rupanya..
---sekian--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar