Kuakui, perkenalan pertama kami memang
tak romantis seperti pertemuan Romeo dan Juliet..
Pandanganku
nanar. Seragam lengan panjang dan rok biru panjang itu membuat kepalaku serasa
berputar-putar. Hatiku memberontak. “Pokoknya kamu harus pakai kudung”, ultimatum
Mama yang membuat mulutku terkuci. Mana kusangka, penolakanku mentah-mentah
untuk bersekolah di madarasah tsanawiyah berujung seperti ini. Meski berhasil
masuk di SMP, seragamku adalah seragam tsanawiyah. Tidak! Aku masih terlalu kecil untuk semua ini..
hiks
Berangkat
dari rasa tidak suka dan terpaksa, aku mulai memakai pakaian serba panjang itu,
di sekolah. Hanya di sekolah, sisanya saat bepergian ke mana-mana, rambutku ku
kepang kuda, kupakaikan bandana, ataupun kuberi jepitan beragam warna. Wohooo..
Dan semua itu berlangsung hampir satu
tahun..
Perlahan-lahan
rasa malu terbit di batinku. Saat berpergian jauh dari rumah, namun tanpa kerudung
yang menutupi kepalaku, rasanya, aku seperti tidak berpakaian saja. Malu
hinggap di kepalaku. Hingga akhirnya, aku menciptakan sebuah rumus lucu-lucu
untuk berhijab, jika jarak tempuh kurang dari 500m, boleh tak berkerudung. Jika
jarak tempuh lebih dari 500 meter, harus pakai kerudung. Namun, lucunya, ketika
ujian praktik berenang di kolam renang, aku dengan mudahnya menanggalkan
kerudungku dan dengan bangga berkata “jilbab metal men!”
Genap
tiga tahun bersama kerudungku, seragamku pun berganti. Aku masuk di salah satu
SMA favorit di kotaku. Kuakui, tiga tahun bersama, aku tidak begitu mengerti
dengan hakikat hijab sebenarnya. Aku hanya mengerti kerudung adalah pakaian
yang digunakan wanita-wanita muslim. Barulah ketika pelajaran agama Islam,
guruku menjelaskan dalil tentang hijab bagi wanita. Aku terkejut, ternyata ada
di Al-Qur’an!
Aku
ingat hari itu, bu guru kami yang berkerudung lebar itu mengintrogasi kami
satu-satu. Yang sudah berkerudung maupun tidak. Aku kebagian menjelaskan
kandungan surah An-Nuur ayat 31. Syarat kerudung harus menutupi dada, aku baru
tahu saat itu juga. Untunglah saat itu hari Sabtu dan kerudung coklat yang
kugunakan kebetulan juga menutupi dada. Berbeda dengan kerudung abu-abu yang
amat ngepass itu. Aku juga baru tahu, kudung dan jilbab itu tidak sama. Jilbab
itu pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan membungkus, dan itu ada di
Al-Ahzab:59. Nah, beginilah kalau baca Qur’an tanpa baca terjemahannya.
Sayangnya,
meskipun segala ayat telah mampir di kepalaku, kerudung mini-mini serta jeans
ketat masih setia menemaniku. Aku malah pernah memberi cap “aliran keras” pada
seorang akhwat yang sudah memakai gamis panjang dan kerudung lebar di hari
pertamanya berhijab. Astagfirullah..
Sebuah hidayah dari lapangan tenis.
Sore itu, matahari bersinar hangat, Tak ada terik yang
membakar peluh. Angin sore menyapa, menjatuhkan daun-daun yang bergantung di
rantingnya. Dari balik jendela, aku termangu menatap lapangan tenis sekolah.
Pandangan mataku menangkap sekumpulan perempuan-perempuan anggun yang tidak
hanya berkerudung, namun juga memakai rok. Dari jauh pun, aku menemukan
ketenangan, juga kehangatan. Entah mengapa. Batinku tergelitik “aku ingin
seperti mereka”.
Aku pun mulai mencicil tiket masuk surga, menghentikan
segenap pembelian celana jeans dan mulai mengajukan proposal pembelian rok
kepada Mama. Secara bergantian, aku menjadwalkan pemakaian rok dan jeans. Dan,
akupun mencanangkan rumus baru. “Jika
hari ini berbaju pendek, Risqah wajib pakai rok. Jika hari ini memakai baju
yang panjang, minimal jatuh menutupi paha, maka boleh pakai jeans.” Meski
begitu, rumus pertama kadang-kadang masih aku jalankan, walahpun jaraknya
dipersempit, kurang dari 100 meter dari rumah.
Perlahan tapi pasti, hijrah rok akhirnya bisa istiqomah.
Jeans-jeans 99% sudah dikepak rapi dalam lemari tanpa dilirik lagi. Walau
begitu rok tidak mengubah lebih banyak pribadiku. Meski sudah ber-rok, sudah mulai
berkerudung menutup dada, namun rupanya kesadaranku untuk belajar agama lebih
baik masih muncul menghilang.
Meski menapak karir sebagai pengurus rohis sejak tahun
pertama, aku termasuk anak yang “bandel” ketika kajian. Hobinya lari mulu,
lebih mementingkan permainan kartu di dalam kelas, lebih mementingkan film yang
ditonton seru di dalam kelas. Pernah membuat seorang mbak menunggu lama di
mushola tanpa ada seorangpun yang datang. Padahal, hari itu harusnya menjadi
mentoring pertamaku..
Suatu hari di kelas tiga SMA, guru bahasa Indonesia kami
menugaskan proyek drama. Batinku berteriak kesenangan menyambut tugas ini. Aku
senang tampil di depan umum, aku senang menulis naskah. Apalagi, drama kami
sewaktu kelas dua dulu mendapat pujian tak terduga dari guru kami. “Kalau bisa,
kalian tampil di perpisahan kelas tiga”. Dan dengan bersemangat, aku menulis
drama pembunuhan yang aku impikan, terinspirasi dari detektif Conan. Drama
pembunuhan pun berakhir dengan gagal dan berubah menjadi sebuah drama lawak
yang amat menggocok perut. Adegan bunuh diri dengan cutter gagal total karena
kantong plastik yang berisi cairan merah sebagai subtitusi darah itu terlihat
jelas oleh penonton.
Rasa kecewa hinggap di benakku, walau turut tergelitik
dengan drama itu. Di lain hal, setelah drama, seorang temanku memberikan
tanggapan yang membuat pipiku serasa tertampar sekeras-kerasnya. Bukan tentang
dramaku yang gagal total, tapi tentang penampilanku hari itu. “Kau tau Riska, melihatmu
memakai celana jeans membuat kami merasa aneh. Seperti bukan kamu!”
Yah, hari itu aku memutuskan memakai celana jeans agar
lebih menghayati karakter yang kumainkan. Seorang gadis yang tomboi namun
periang. Entah pemikiran dari mana itu semua. Terlebih lagi, yang berkomentar
tentang jeansku adalah seorang laki-laki yang notabene bukan anak rohis, bukan
anak alim yang aktif di masjid, hanya teman kelasku. Jika temanku yang satu ini
merasa terganggu dengan jeans ini, bagaimana dengan Allah dan Rasul-Nya?
Hari itu, sungguh menjadi hari terakhirku memakai celana
jeans..
Lewat cinta, hidayah
menyapa..
Ada desir halus yang terbit di hatiku, tatkala melihat
teduh wajahnya. Sungguh, aku hanya seorang gadis biasa. Sungguh wajar untuk
merasa. Sebutlah dia Mr.X, orang yang diam-diam kukagumi dan hatiku, telah
cukup lama menyimpan namanya. Dialah pelita yang terang, menyinari sudut-sudut
hati yang kerap kali menahan rindu.
Sewajarnya orang-orang yang jatuh cinta, aku kerap kali
mengharapkan banyak hal tentang dirinya. Walau prinsipku untuk tidak akan
pernah berpacaran tak tergoyahkan, namun aku merasa tiada salahnya
mengungkapkan perasaan pada seseorang yang kita sukai. Hanya agar dia tahu..
Suatu jari, aku pun berani mengutarakan perasaanku
padanya. Oh man, itu keberanian yang kukumpulkan setelah sekian bulan.
Tanggapannya? Ia hanya diam, lalu mangucapkan terima kasih. Dan, sebenarnya aku
tahu, dia menyukai orang lain, seorang gadis lain yang kukenal pasti.
Patah hati.. Aku menghabiskan banyak malam berurai air
mata. Segalanya begitu gelap saat itu. Bagiku, pelita terang itu telah pergi.
Nyeri sekali hatiku seolah teriris sembilu, menyebabkan lahirnya luka menganga.
Sambil terus berharap, Allah akan mengirimkan matahari yang akan mengusir
gerimis yang membasahi beranda hatiku..
Siapa sangka, kisah patah hati ini menuntunku
menuju lebih dekat dengan Tuhanku. Lewat sebuah buku yang kata-katanya hari ini
masih tersimpan dalam kepalaku.. “Jika
kita cinta pada manusia, akan ada dua kemungkinan. Yang pertama diterima atau
ditolak. Jika diterima akan bahagia rasanya namun jika ditolak akan sakit
rasanya. Apabila kita mencintai Allah, satu-satunya kemungkinan adalah cintamu
pasti diterima-Nya. Betapa indahnya jika hidup ini diisi dengan bermesraan
pada-Nya, menggantungkan hidup semata-mata pada-Nya.”
‘Jleb’ ibarat peluru sepenggal kalimat itu
menghujam tepat di hatiku. Air mataku tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Mengalir
begitu saja tanpa aku ingini. Sejenak kuputar dalam kepalaku apa yang telah
kulakukan. Aku terisak-isak, menyadari telah melakukan hal yang begitu bodoh.
Terlalu mengspesialkan perasaan pada seseorang yang tak halal, mengorbankan
jiwa dan pikiran memikirkannya sepanjang hari, mengabiskan berliter-liter air
mata untuknya. Di mana waktuku untuk Allah? Sudahkah Aku mencintai-Nya? Yaa
Rabbi.. faghfirlii..
Sejak saat itu, aku memutuskan berbenah,
sambil membersihkan remah-remah dosa yang terus mengotori selubung hati. Akupun
akhirnya berupaya menyempurnakan hijabku, yang sesuai syariat. Dengan penuh
penyesalan, mengapa baru saat itu menyadarinya. Setelah hampir genap enam tahun
mengenakannya. Rok memang telah istiqamah aku kenakan, begitupun kerudung walau
ngepass tapi menutup dada. Namun, aku terlupa akan jari-jari kakiku yang masih
telanjang tanpa kaos kaki. Padahal, bukankah hadis “kecuali muka dan telapak
tangan” telah sekian tahun aku ketahui?
Dan Allah pun, menggariskan kisah hidup baru
untukku, dengan jalan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah Universitas
swasta di ibukota. Dan disanalah, aku mendapatkan saudara-saudara baru membuat
hidupku jauh lebih berwarna, di LDK yang aktif kuikuti. Sambil berupaya terus
berbenah, aku rajin mengikuti kajian-kajian, sambil belajar berbicara di depan
umum untuk dakwah, belajar menulis dan juga semakin menyempurnakan hijab,
memanjangkan kerudung.
Ah, tiba-tiba aku terpikir, jikalau saat itu
perasaanku pada si Mr.X terbalaskan, apalah jadinya diriku sekarang. Mungkin
aku malah menjauhi LDK, mungkin tak pernah berpikir untuk menyempurnakan
hijabku. Terus mengejar dunia yang tidak ada habisnya.
Ada banyak kisah bagaimana seorang muslimah
menemukan hidayahnya. Dan aku merasa beruntung, Allah tidak mengujiku dengan
cobaan berat hingga aku menemukan hijab sempurnaku. Tidak ada halangan berat
seperti larangan keras dari orang tua untuk berhijab.. Lewat kisah cinta yang
sekarang membuatku sekarang benar-benar tertawa geli, aku menemukan jalanku,
aku menyambut hidayah yang begitu manis itu. “Pokoknya kamu harus pakai
kudung!” Ah, sudah lebih dari tujuh tahun rupanya..
---sekian--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar